Jumat, 14 Januari 2011

GEJOLAK KONFLIK DI BUMI NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Pekan awal di bulan penghujung tahun 2010 seperti menjadi Pekan Kemarahan, bagaikan membangunkan macan tidur. Itulah yang saat ini terjadi di Yogyakarta. Masyarakatnya yang selama ini adem ayem, murah senyum, menjadi beringas dan marah.. Wajah memerah juga secara serentak di mana-mana. Bahkan hampir tak ada ruang yang terbebas dari orang marah. Di jalan, di warung, kafe hingga di kantor-kantor yang dihuni orang-orang terdidik. Celakanya, sasaran kemarahan mereka tertuju pada satu orang, yakni orang yang telah berani-beraninya menyebut kata "monarki" yang membuat alergi warga Yogya. Kata monarki meluncur dari penjelasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam pengantar sidang kabinet pada 26 November yang membahas RUUK DIY, presiden memaparkan model tata pemerintahan daerah Yogya yang formulanya tengah dirancang. SBY menghendaki adanya suatu pranata yang menghadirkan sistem nasional NKRI, keistimewaan DIY yang harus dihormati dan dijunjung tinggi, serta nilai-nilai demokrasi dalam RUU tentang Keistimewaan DIY. Lalu, kata-kata yang kontroversial itu menyusul."Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi," kata Presiden. Dari sinilah petaka itu berawal. Bak bara tersiram bensin, amarah itu berkobar, menjalar ke segala arah. Dari Jakarta merebak ke Yogya. Dari Sultan menular ke para kawula. Dari media, pengamat sampai orang yang tidak memiliki kepentingan (langsung) pun turut menyemarakkan pesta kemarahan kolosal ini. Kegaduhan ini kian gemuruh oleh pemberitaan media yang mebombardir ruang layar kaca, halaman koran dan monitor laman-laman berita. Semua jenis berita disajikan, dari berita selintas, analisa hingga talkshow,siaran,langsung.
         Sentak pula rakyat di seluruh pelosok Negri semakin bersimpati dan berempati akan keadaan para saudara-saudara di Yogyakarta.Reaksi gerakan social aktif dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, dari warga sipil, mahasiswa, LSM, serta para pengamat social yang melihat dengan berbagai sudut pandang. Bahwa walau bagaimanapun kecerobohan SBY melontarkan kata "monarki" adalah salah. Salah waktu, salah tempat dan salah strategi.
Salah waktu karena masyarakat Yogyakarta baru saja dilanda bencana letusan gunung Merapi yang belum usai melewati tahap rehabilitasi. Juga salah waktu, sebab rancangan undang-undang ini sudah lama tertunda-tunda. Bahkan kegagalan DPR periode 2004-2009 mengesahkan RUUK ini terhalang oleh Fraksi Demokrat, partai yang dilahirkan dan dibina SBY. Dari tujuh hal terkait keistimewaan Yogyakarta, enam di antaranya sudah disepakati dan hanya menyisakan soal mekanisme pemilihan kepala daerah yang belum disepakati.
Jadi, bagaimana mungkin SBY meminta publik untuk tidak mereduksi persoalan keistimewaan Yogya hanya pada tataran suksesi gubernur.Memang tinggal masalah itu yang menggantung selama sewindu sejak konsep RUUK berada di tangan pemerintah. Mereka sudah jengah menanti usainya pembahasan RUUK ini dan lalu disulut dengan kata "monarki".
Salah tempat, tidak seharusnya SBY yang bergelar doktor itu menyebut kata "monarki" menyangkut keistimewaan Yogya. Padahal biasanya ia paling bisa menempatkan diri, dengan siapa berhadapan dan kata apa yang pantang diucapkan. Presiden mestinya sangat mafhum bagaimana kawula Yogya telah lama nyaman hidup dalam model pemerintahan kerajaan. Pengabdian adalah hal terluhur yang mereka punya dan lakukan terhadap baginda raja terpuja.Serta jangan ada yang mengusik hukum kekekalan raja, maka mala petaka akan tiba. Salah strategi, karena sidang kabinet itu terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pengantar bersifat terbuka dan diliput media. Lalu break dan dilanjutkan sidang tertutup dengan bahasan yang lebih mendalam. Dan sewaktu sidang kabinet tentang RUUK DIY, presiden melempar kata yang sensitif itu pada sesi pengantar yang dikonsumsi media.
Silang pendapat antara Presiden SBY dan Sri Sultan itu terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY). RUUK DIY sebenarnya sudah disusun oleh Pemerintah Provinsi DIY pada 2000 dan diajukan ke pemerintah pusat agar dibahas di DPR pada 2002. Namun, karena DIY bukan provinsi yang ada gerakan separatis seperti di Papua dan Aceh, pembahasan mengenai RUUK DIY tidak mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah dan Dewan saat itu.Sebenarnya RUUK DIY sepatutnya membahas apa saja keistimewaan DIY. Bukan hanya persoalan rekrutmen kepala daerah, melainkan lebih dari itu, yakni hak-hak dan wewenang istimewa apa yang dimiliki Pemprov DIY dalam melaksanakan pemerintahannya, baik di bidang politik, sosial, budaya, pertanahan, tata ruang, dan pendidikan.Entah mengapa, kontroversi mengenai keistimewaan DIY justru dipersempit menjadi apakah Raja atau Sultan Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur DIY dan Paku Alam otomatis menjadi Wakil Gubernur DIY. Jika merujuk pada sejarah, keistimewaan Yogyakarta diakui sejak masa kolonial Belanda dan Jepang. Sultan Hamengku Buwono IX adalah penguasa Yogyakarta yang diberi wewenang penuh oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk mengatur pemerintahan di Yogyakarta.
 mengambil alih kekuasaan kolonial dari tangan Belanda pada 1942, penguasa militer Dai Nippon di Jakarta juga mengangkat Sultan Yogyakarta sebagai penguasa tunggal di Yogyakarta. Walau Sri Sultan Hamengku Buwono IX berpendidikan Belanda, saat Belanda kembali ke Indonesia setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945, beliau menunjukkan sikap nasionalismenya yang tinggi sebagai pendukung kemerdekaan Republik Indonesia.Seperti para pemimpin di Aceh, Sultan Yogyakarta juga mendukung proklamasi kemerdekaan RI dan menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tak cuma itu, pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII membuat Maklumat Politik menegaskan kembali bergabungnya Yogyakarta sebagai bagian dari NKRI.Patut diingat bahwa wilayah Republik Indonesia saat itu masih sangat terbatas di beberapa bagian Sumatera, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di tengah wilayah-wilayah yang masih dikuasai Belanda yang kemudian menjadi negara-negara Pasundan, Madura, Negara Indonesia Timur, dan lain sebagainya.
         Saat keberadaan Republik Indonesia semakin di ujung tanduk, sesuai dengan Perjanjian Linggarjati, adalah Sultan Hamengku Buwono IX yang memberi tempat perlindungan kepada para pemimpin republik dan memberi wilayah Yogyakarta sebagai ibu kota perjuangan Republik Indonesia. Tidaklah mengherankan jika pada 15 Agustus 1950 pemerintah RI memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Yogyakarta karena dukungan penuh mereka kepada Republik yang masih muda itu.Sultan Hamengku Buwono IX adalah juga seorang republikan sejati, walau ia seorang sultan atau raja. Sumbangsih Kesultanan Ngayogyakarta bukan hanya dukungan politik semata, melainkan juga dana dan wilayah. Tanah yang digunakan oleh Universitas Gadjah Mada adalah tanah Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta juga pernah menjadi ibu kota negara saat Jakarta digempur dan diduduki Belanda.Adalah Sultan Yogya pula yang memberi inspirasi dan dukungan penuh kepada tentara di bawah Letnan Kolonel Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI kedua) untuk melakukan Serangan 1 Maret 1948 sebagai simbol bahwa Republik Indonesia masih ada. Seperti kata Bung Karno, kita sebagai bangsa, apalagi pimpinan nasional, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jas Merah)!”Satu hal penting lainnya, keistimewaan Yogyakarta dan Aceh juga dijamin keberadaannya oleh konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 18B. Karena itu, keistimewaan Yogyakarta dengan segala bentuk kesultanannya berada di bawah naungan atau berada di bawah payung hukum konstitusi negara kita. Pertanyaannya, apakah Yogyakarta sebuah monarki? Jika kita membaca buku Sultan Hamengku Buwono IX, Tahta untuk Rakyat, jelas Yogyakarta bukanlah suatu monarki absolut, melainkan suatu monarki kultural sebagai akibat dari bergabungnya Yogyakarta ke dalam NKRI.
Buku Tahta untuk Rakyat juga memperlihatkan betapa Yogyakarta bukan lagi Monarki Politik. Sebagai Ngarso Dalem atau raja, Sultan Hamengku Buwono IX dan diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwono X benar-benar mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya.
Tengok misalnya saat Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan tidak lagi bersedia menjadi Gubernur DIY, rakyat Yogyakarta, termasuk mereka yang berasal dari luar Jawa, langsung menentang keputusan tersebut.Bahkan, pada 28 Maret 2008 ribuan rakyat melakukan Sidang Rakyat di halaman Gedung DPRD DIY yang intinya tetap mendukung Sultan sebagai Gubernur DIY. Lalu apakah monarki bertentangan dengan demokrasi? Jawabnya, jika sistem monarki itu bersifat absolut, jelas itu bertentangan dengan demokrasi. Dengan demikian, bukan monarkinya yang bertentangan dengan demokrasi, melainkan absolutismenya.Tengok misalnya bagaimana perubahan monarki di Inggris dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional yang didahului dengan kontrak sosial antara raja dan rakyat yang kemudian menumbuhkan sistem monarki konstitusional di mana ada sistem perwakilan dua kamar: House of Lord untuk kaum bangsawan dan House of Common untuk wakil rakyat kebanyakan. Demokrasi juga mengandung kelemahan tersendiri jika tirani mayoritas lebih dikedepankan ketimbang musyawarah untuk mufakat. Tirani mayoritas yang mengedepankan sistem voting lebih menjurus pada kemenangan kelompok mayoritas dan mengesampingkan kelompok-kelompok minoritas dalam sistem politik yang ada. Sementara musyawarah mufakat atau unonimous decision lebih mengedepankan kebersamaan atau kepemilikan bersama atas keputusan politik yangdiambil. Ini bukan hanya berlaku di Indonesia dan sesuai dengan sila keempat dari Pancasila, melainkan juga berlaku di negara-negara barat. Jika tidak, mana mungkin ada terminologi unonimous decision atau keputusan politik yang didukung oleh semua kekuatan politik yang ada di parlemen. Demokrasi melalui voting memang sah asalkan semua kekuatan politik, baik yang menang maupun yang kalah, menghormati hasil dari democratic bargaining tersebut.
         Dalam terminologi Jawa dikenal, bagi yang menang, “Menang tanpa ngasorake” atau kemenangan tanpa harus menafikan kelompok minoritas atau menyoraki yang kalah. Bagi yang kalah, terdapat kewajiban untuk menerima kekalahan politik tanpa membuat keonaran atau “Kalah tanpa banda.” Kelemahan lain dari demokrasi ialah jika yang berlaku adalah democratic auuthoritarianism, yakni menggunakan sistem demokrasi untuk menjalankan sistem otoriter seperti yang dilakukan Hitler setelah terpilih menjadi Kanselir Jerman pada 1933.
Lebih buruk lagi jika democratic authoritarianism juga menciptakan presidential monarch seperti pada era Orde Baru, yaitu karena kemenangan politiknya, seorang presiden menjalankan pemerintahannya tanpa adanya pengawasan dari parlemen atau menjalankan pemerintahan dengan tangan besi sendirian. Sistem presidensial adalah sistem demokrasi, tetapi bila digabung dengan monarch (gabungan dari kata mono dan arch atau satu tangan) bisa menjurus pada sistem pemerintahan yang otoriter.
        Persoalan negara harus lebih dikedepankan ketimbang persoalan pribadi. Presiden SBY justru dapat dituduh sebagai pemimpin nasional yang tidak memahami sejarah bangsa dan mengabaikan konstitusi negara jika memaksakan kehendak politiknya mengeliminasi kekuasaan Sultan Yogyakarta yang adalah bagian tak terpisahkan dari keistimewaan DIY.
Jangkauan kekuasaan (range of power), domain kekuasaan (domain of power), dan lingkup kekuasaan (scope of power) pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah di era reformasi ini, terlebih lagi di daerah yang menurut konstitusi negara dijamin keistimewaannya dan juga dijamin kekhususan otonominya sesuai dengan UU yang berlaku memang ada batasnya.
Gejolak konflik di bumi Yogyakarta yang disulut oleh ranah perpolitikan, namun menyertakan efek di segi social.Seperti halnya gejolak partisipasi aktif oleh berbagai elemen masyarakat dalam rangka mempertahankan keistimewaan Yogyakarta yang tak dapat digeser dalam runtutan bukti sejarah. Tak kunjung juga menimbulkan gesekan antara masyarakat yang PRO dan KONTRA akan RUU Keistimewaan Yogyakarta tersebut.Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik social tersebut adalah perlu mengingatkan kepada semua pihak. Monarki itu ada dua jenis, yakni monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut itu hanya ada di kerajaan-kerajaan tempo dulu, saat zaman abad pertengahan. Terutama di Eropa, saat revolusi Prancis dan lain-lain."Monarki absolut itu mengatakan, raja tidak pernah salah. Dia mengangkat, memecat, itu kewenangan raja," saat ini sudah tidak ada lagi monarki absolut. Yang ada adalah monarki konstitusional. Apa itu monarki konstitusional? "Monarki konstitusional adalah monarki yang demokratis," Banyak contoh yang menggambarkan 'damainya' monarki konstitusional. Yakni seperti di Inggris, Belanda, Malaysia, Thailand, dan Jepang. Monarki konstitusional itu sistem pemerintahannya berjalan sesuai undang-undang. "Ada pemilahan kekuasaan dan otoritas. Raja hanya sebagai simbol. Tapi yang menangani pemerintahan itu perdana menteri,”. Sistem pemerintahan yang sekarang sudah berjalan sejak zaman kemerdekaan 1945 di Yogyakarta adalah monarki konstitusional. "Apalagi di Yogyakarta. Sultan tidak absolut. Sultan bekerja dalam aturan demokrasi,". Bila berada dalam lingkungan kraton atau rumahnya, Sultan merupakan kepala rumah tangga kraton. Dan Sultan dipersilakan menerapkan aturan monarki di rumah atau kratonnya. "Tapi kalau sudah di Kantor Gubernur, masyarakat itu salaman seperti biasa. Tidak menyembah-nyembah,". Sultan juga tidak menerapkan sistem monarki dalam pemerintahan daerah. Buktinya, semua pejabat daerah dari yang rendah sampai petinggi tidak dijabat keluarga kerajaan. Semua direkrut melalui mekanisme dan aturan yang demokratis. Perekrutar PNS melalui mekanismenormal. "Bahkan, PNS di DIY itu tidak hanya dari Yogyakarta, banyak juga dari luar Yogya. Ada yang dari Flores, Bangka, dan lain-lain,"
Menurut pendapat saya, pandangan di atas menggambarkan bahwa pimpinan Bangsa Indonesia saat ini harus lebih jeli melihat serta mengemukakan undang-undang yang erat kaitannya dengan system Monarki Vs Demokrasi. Karena masyarakat sebenarnya muak dengan demokrasi yang diterapkan di Indonesia saat ini. Pilkada banyak memunculkan koruptor baru. Dengan perilaku politikus yang tidak simpati. Pemilukada banyak diwarnai money politic, pemalsuan ijazah, dan lain-lain. Faktor kharismatik Sultan Hamengkubuwono 1 sampai dengan 10 belum ada tandingannya sampai saat ini. Itulah yang mendasari masyarakat Yogyakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya menentang habis-habisan RUU yang digagas Pesiden cs. Sebelum Indonesia terbentuk menjadi negara justru Kesultanan Yogyakarta telah mempunyai norma dan pranata yang sempurna. Tidak heran kalau masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dari dulu terkenal budi pekerti yang baik. Kok seanaknya Presiden cs mengobrak abrik tatanan yang sudah teratur.
Dapat dikerucutkan kearah solusi mengenai gejolak konflik di Yogyakarta bahwa Presiden Cs sebaiknya harus lebih teliti melihat dinamika multikultur di Indonesia. Segera benahi RUUK Yogyakarta agar konflik social antar masyrakat yang Pro dan Kontra cepat menuai jawaban yang jelas. Karena, sebelum Tubuh Bumi Pertiwi semakin tersakiti oleh tindakan yang bermuatan politisir oleh para Birokrat yang membuat kondisi sosial masyarakat Indonesia semakin terpecah belah. Maka dari itu kepentingan politik yang tersistem oleh pemegang kekuasaan saat ini haruslah segera di hancurkan, karena kalau tidak segera dilakukan maka rakyatlah yang akan semakin menemui konflik baik antar individu, antar kelompok atau bahkan konflik kelompok dengan state (pemerintah). Dan kesemuanya itu akan semakin memperburuk keadaan pranata sosial masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar